Review Kopi Piko Arabica Semendo Honey

review kopi piko arabica semendo honey, rasa kopi yang didefinisikan secara akurat dan lebih mendetail

Cerita Awal Mengenal Kopi Arabika

Aku pernah menginjakkan kaki di Medan untuk sebuah urusan meeting formal yang penuh agenda dan presentasi. Seperti biasa, ada sesi coffee break di tengah padatnya jadwal. Aku mengambil secangkir kopi dari meja prasmanan, menuangkannya dengan harapan sederhana: sedikit kafein untuk menyegarkan pikiran. Tapi begitu tegukan pertama menyentuh lidah, aku tertegun. Rasanya… tidak biasa. Ada sentuhan asam yang samar, berpadu dengan gurih yang sulit dijelaskan. Bukan pahit khas kopi umumnya yang saya nikmati selama ini.

Refleks, pikiranku langsung melayang ke masa kecil di perdesaan saat musim kemarau. Air minum dikala itu sering terasa sedikit asam, mungkin karena tanah yang mengering atau pipa yang berkarat. Aku sempat mengira, mungkin air rebusan di tempat ini mengalami hal serupa. Tapi asumsi itu segera goyah.

Keesokan paginya, saat sarapan di hotel, aku kembali mengambil kopi dari mesin otomatis. Dan lagi-lagi, rasa itu muncul. Asam yang halus, gurih, dan aroma yang tak sepenuhnya asing. Dua tempat berbeda, dua sumber air yang tak mungkin sama, tapi satu rasa yang konsisten. Di titik itu, aku mulai yakin bahwa bukan airnya yang salah. Mungkin, justru jenis kopinya yang unik. Ada sesuatu yang khas dari kopi Medan ini, sesuatu yang membuatku penasaran.

Awalnya, rasa kopi itu terasa aneh. Lidahku, yang terbiasa dengan pahit pekat dan aroma sangrai yang kuat, sempat menolak. Tapi entah kenapa, rasa itu justru membekas. Ada sesuatu yang menggoda di balik keanehan sebuah karakter yang tak bisa kutemukan di kopi-kopi lain. Bertahun-tahun berlalu, dan rasa itu tetap tinggal di ingatan. Aku mencoba mencarinya kembali dengan mencoba kopi di warung pinggir jalan, di pasar tradisional, lewat kopi kemasan sachet, bahkan di coffee shop modern seperti JCo dan gerai-gerai lain yang menjamur di kota. Tapi tidak ada yang serupa. Rasanya seperti mencari bayangan dari sesuatu yang pernah nyata, tapi kini hanya tinggal kenangan.

Rasa rindu itu akhirnya membawaku pada pencarian yang lebih serius. Aku mulai membaca, bertanya, dan mencicipi berbagai jenis kopi. Dari situ, aku baru sadar bahwa kopi bukan hanya soal pahit dan hitam. Ia punya dunia sendiri, penuh ragam dan karakter. Bahkan, menurutku pribadi, kopi itu mirip seperti beras yang kebanyakan orang hanya tahu hasil akhirnya menjadi nasi. Padahal, jenis beras itu sangat beragam. Ada yang pulen, ada yang lengket, ada yang buyar. Ada yang berbutir besar, ada yang kecil. Ada yang putih mengkilap karena kandungan patinya tinggi, dan ada pula yang beraroma khas seperti beras pandan atau ketan. Rasanya pun berbeda—ada yang manis alami, ada yang hambar, ada yang gurih, bahkan ketan pun salah satu jenis beras juga.

Begitu juga dengan kopi. Di antara berbagai jenis, dua nama paling umum yang sering disebut adalah robusta dan arabika. Perbedaan keduanya bukan sekadar nama, tapi mencerminkan karakter yang sangat kontras. Robusta adalah kopi yang kuat, pahit, dan tinggi kafein. Ia seperti beras pera yang cocok untuk nasi goreng—tangguh dan tidak mudah hancur. Sementara arabika, lebih halus, lebih kompleks, dan sering kali punya rasa asam yang khas. Ia seperti beras pulen yang cocok untuk nasi uduk atau sushi—lembut, tapi penuh karakter.

Kebanyakan kopi yang beredar di pasaran adalah robusta. Alasannya sederhana yakni lebih murah, lebih mudah ditanam, dan lebih kuat menghadapi cuaca serta hama. Tapi arabika? Ia lebih sensitif, lebih mahal, dan tidak semua orang bisa menikmatinya. Terutama karena rasanya yang unik seperti ada sentuhan asam, aroma floral, dan body yang ringan. Bagi pecinta kafein akut, arabika mungkin terasa “kurang nendang.” Minum arabika tidak memberi dorongan instan untuk melawan kantuk. Rasanya terlalu “light,” seperti menyentuh permukaan tanpa benar-benar tenggelam.

Tapi justru di situlah keindahannya. Arabika bukan tentang efek, tapi tentang pengalaman. Ia mengajak kita untuk berhenti sejenak, mencicipi dengan perlahan, dan meresapi setiap lapis rasa yang muncul. Dan rasa kopi yang dulu sempat terasa aneh di Medan yang belakangan justru kurindukan. Dan aku yakin, itu adalah arabika. Kopi yang tidak semua orang bisa langsung jatuh cinta, tapi sekali terpikat, sulit untuk berpaling.

Perjuangan Menentukan Arabika Pertama

Saat akhirnya aku memutuskan untuk membeli kopi arabika pertama, aku tidak menyangka bahwa prosesnya akan begitu membingungkan. Ternyata, dunia kopi jauh lebih kompleks dari sekadar hitam dan pahit. Ada begitu banyak jenis, asal daerah, metode sangrai, hingga karakter rasa yang bisa muncul dari satu biji kopi. Wajar saja kalau ada profesi khusus hanya untuk menyajikan segelas kopi dengan benar. Barista bukan sekadar orang yang berdiri di balik mesin espresso, mereka adalah seniman rasa. Bahkan, banyak dari mereka harus mengikuti sekolah dan sertifikasi agar bisa memahami karakter kopi dan menyajikannya secara maksimal.

Kebingunganku makin menjadi saat aku melihat coffee flavor wheel, yakni sebuah tabel rasa yang digunakan para profesional untuk mengidentifikasi profil kopi. Di sana, rasa asam saja terbagi menjadi banyak cabang, ada yang fruity seperti apel atau beri, ada yang floral seperti melati, bahkan ada yang menyerupai madu. Bingung? Sudah pasti. Menentukan kopi yang tepat, apalagi yang belum pernah kucicipi sebelumnya, rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Tapi justru di situ letak petualangannya.

Sebelum menentukan pilihan, aku menyadari satu hal penting, kita harus tahu dulu rasa seperti apa yang kita sukai. Karena tidak adil rasanya menilai kopi hanya dari rating marketplace. Sering kali aku melihat ulasan bintang satu, bukan karena kualitas buruk, tapi karena rasa tidak sesuai dengan lidah si pembeli. Padahal, kopi bukan soal enak atau tidak enak, ia soal cocok atau tidak cocok. Sama seperti musik, selera sangat personal.

Setelah riset dan pertimbangan panjang, aku mengerucutkan pilihan ke tiga jenis kopi arabika:
Arabika Gayo – terkenal dengan rasa asam yang kuat dan fruity, cocok untuk pencinta kopi dengan karakter cerah.
Arabika Kintamani – dugaan awalku, mungkin inilah kopi yang dulu kuminum di Medan. Rasanya ringan, asam segar, dan aroma citrus yang khas.
Arabika Java – yang kulihat di tabel kemasan kopi Excelso, punya tingkat asam dan pahit yang seimbang. Cocok untuk transisi dari robusta ke arabika.

Tapi lucunya, pilihan akhirnya justru jatuh ke Arabika Semendo Honey. Dan ini cerita yang cukup unik.

Sebenarnya, aku sudah memesan kopi Argopuro di marketplace, lengkap dengan alat penyaring V60 untuk metode pour over. Alatnya tiba lebih dulu, sementara kopinya masih dalam perjalanan. Dan ternyata, Argopuro itu bukan hanya nama kopi, tapi juga nama daerah di ujung timur Jawa, dekat Bali. Ini adalah pembelian online terjauh yang pernah kulakukan dalam negeri, hanya demi secangkir kopi.

Karena rasa ingin ngopi sudah tak tertahankan, dan alat V60 sudah siap di meja, aku pun membuka Google Maps dan mulai mencari toko kopi terdekat di kotaku. Rasanya seperti berburu harta karun. Aku ingin menemukan sesuatu yang bisa segera diseduh, tapi tetap punya karakter yang menarik. Dan di sanalah aku menemukan beberapa toko kopi lokal, kupilih toko yang paling dekat dengan tempat tinggalku dan dari menu yang tersedia varian arabicanya hanya tersedia Semendo dan Gayo

Kebetulan, aku punya seorang teman lama bernama Riska. Kami dulu rekan kerja, sebelum ia memutuskan untuk resign untuk menikah. Kini, ia dan suaminya membuka sebuah coffee shop profesional. Saat itu ia kuhubungi untuk diskusi mengenai kopi, berbincang dengannya mengenai berbagai varian. Dari obrolan ringan itu, Riska merekomendasikan Semendo.

Cuboi kopi Semendo dulu bae kak, karena Palembang jugo penghasil kopi terbaik yang sering di expor.

Riska, dengan bahasa Palembangnya
Menurut Riska, kopi Semendo adalah salah satu varian terbaik yang dimiliki Indonesia. Bahkan, katanya, kopi ini sering diekspor ke luar negeri karena kualitasnya yang konsisten dan karakter rasanya yang khas. Ia menyarankan agar aku mencoba varian Semendo terlebih dahulu sebelum menjelajah ke jenis lain. Dan aku pun teringat akan pengalaman lamaku dengan kopi ini.

Dulu, kopi Semendo adalah favoritku. Rasanya pas di lidah, aromanya kuat, dan ada nuansa “earthy” yang membuatnya terasa akrab. Bahkan ibuku, yang juga pecinta kopi sejati, menyukai Semendo. Tapi entah kenapa, belakangan rasanya berubah. Kami sempat membeli kopi Semendo dari warung, dan rasanya… jujur saja, mengecewakan. Tengik, seperti arang, dan aroma kopinya nyaris hilang. Bahkan ibuku yang biasanya toleran terhadap rasa kopi pun mengernyit. Kecintaan kami terhadap Semendo pun perlahan memudar.

Namun, kalau dipikir ulang, mungkin penilaian itu tidak sepenuhnya adil. Kopi yang kami beli waktu itu mungkin sudah lama dalam kemasan, mungkin juga disimpan di rak warung selama berbulan-bulan. Bisa jadi proses pengemasannya tidak baik, atau sangrainya sudah terlalu lama sehingga aroma kopi menguap. Bahkan mungkin, pabriknya tidak mengolah biji kopi dengan standar yang seharusnya. Yang aku tahu pasti, karakter kopi Semendo itu earthy, aroma tanah basah, asap kayu, mengingatkan saya suasana di desa dengan nuansa makanan yang dimasak di tungku tradisional. Bagi sebagian orang, itu bisa jadi nostalgia. Bagi yang lain, bisa jadi terlalu “berat.”

Akhirnya, aku memberanikan diri untuk memberi kesempatan kedua. Kali ini, bukan robusta seperti dulu, melainkan arabika Semendo. Aku ingin tahu, apakah versi arabika dari kopi ini bisa menghidupkan kembali rasa yang dulu membuatku jatuh cinta.

Tak lama, aku langsung menghubungi penjual kopi lokal yang kutemukan lewat Google Maps, pilihannya jatuh ke toko Kopi Piko. Nomornya disertakan dalam laman bisnis Google Mapsnya. Aku bertanya dengan antusias, memastikan satu hal penting, apakah kopi yang mereka jual fresh roasted? Karena aku tahu, semakin baru kopi itu disangrai, semakin kuat aroma dan rasanya. Penjualnya ramah, menjawab dengan detail, dan merekomendasikan saya kopi Arabica Semendo Honey sebagai salah satu kopi paling laris dalam penjualan mereka.

Kali ini, aku tidak hanya membeli kopi. Aku membeli kesempatan untuk berdamai dengan kenangan, untuk merasakan kembali sesuatu yang pernah hilang, dan mungkin… untuk jatuh cinta lagi.

Review Kopi Arabica Semendo Honey

Tak lama setelah aku melakukan pemesanan, aku mulai memantau prosesnya lewat fitur pelacakan di marketplace. Dari sana, aku melihat bahwa penjual membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk memproses pesananku. Aku menduga, waktu itu digunakan untuk menggiling biji kopi sesuai permintaanku. Aku memang memesan dua jenis gilingan: gilingan kasar untuk metode V60, dan gilingan halus untuk diseduh secara tubruk. Sengaja aku memilih dua jenis gilingan ini untuk membandingkan proses seduhan kopi dapat membedakan hasil rasa.

Ini adalah kali pertama aku mencoba menyeduh kopi dengan metode V60. Jujur saja, kalau boleh memilih, aku lebih nyaman dengan cara tubruk yang sederhana, cepat, dan sudah jadi kebiasaan sejak lama. Tapi dari berbagai sumber yang kubaca, metode V60 dianggap lebih unggul dalam mengekstraksi rasa kopi secara maksimal. Aromanya lebih keluar, rasanya lebih kompleks, dan setiap lapisan karakter kopi bisa terasa. Sedangkan metode tubruk, meski praktis, cenderung merendam kopi terlalu lama, membuat rasa pahit mendominasi dan menutupi aroma-aroma halus yang seharusnya bisa dinikmati.

Tak sampai satu jam, kopi yang kutunggu akhirnya tiba di tangan. Dikirim melalui layanan kurir instan GoJek, paket kecil itu terasa seperti hadiah yang sudah lama dinanti. Begitu aku membuka bungkusnya, aroma kopi langsung menyeruak. Tapi bukan aroma kopi biasa, ada sesuatu yang berbeda. Wanginya manis dan lembut. Ada sentuhan aroma seperti sweet spice, mungkin kayu manis, tapi sangat halus dan tidak menusuk.

Bahkan ibuku, yang sedang duduk di ruang tamu, langsung menoleh dan bertanya, “Itu kopi? Harumnya beda ya…” Kami terbiasa dengan aroma kopi sachet atau kopi kemasan yang sudah lama tersimpan di warung yang aromanya tidak se-semerbak ini. Tapi ini… ini lain. Aroma yang kami cium hari itu adalah sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah kami rasakan sebelumnya. Harum dan lembut.

Rasa tak sabar pun mulai menguasai. Aku segera menyiapkan alat V60 yang sudah menunggu di meja. Ibu pun ikut menaruh harapan tinggi. “Kalau aromanya seenak ini, rasanya pasti luar biasa,” katanya sambil tersenyum. Dan aku pun setuju. Karena dalam dunia kopi, aroma adalah pembuka cerita. Jika pembukanya sudah seindah ini, siapa yang tidak penasaran dengan bab selanjutnya?

Hari itu, aku memutuskan untuk melakukan eksperimen kecil. Aku menyeduh kopi Semendo Arabika dengan tiga cara berbeda:
1. Teknik V60 – metode pour over yang elegan yang saya usahakan presisi sesuai takaran juga panasnya air.
2. Teknik tubruk – cara klasik yang sederhana
3. Seduhan ulang ampas V60 dengan teknik tubruk

☕️ Seduhan V60: Kejutan dalam Kesederhanaan

Dari segi aroma, seduhan V60 ini tidak memiliki kekuatan “robusta” yang biasa menghantam hidung dengan intensitas tinggi. Aromanya lebih halus, lebih elegan. Cairannya pun lebih encer dibandingkan tubruk, tidak kental, tapi jernih dan bersih. Saat seruputan pertama menyentuh lidah, aku langsung menangkap rasa asam yang lembut. Bukan asam yang tajam atau mengganggu, tapi asam yang menyegarkan.

Rasa pahitnya ada, tapi tidak mendominasi. Justru, pahit itu seperti ditabrak oleh asamnya, menciptakan keseimbangan yang unik. Dan yang paling mengejutkan ada rasa manis. Ini adalah pertama kalinya aku minum kopi tanpa gula dan merasakan manis alami. Bukan manis yang menonjol, tapi manis yang memperkaya. Seperti lapisan rasa yang muncul perlahan, memberi kejutan kecil yang menyenangkan.

Setelah kopi diteguk, muncul aroma spicy yang hangat, mirip kayu manis, sedikit rasa dark, tapi sangat halus. Aroma ini tidak langsung hilang. Ia tinggal di mulut, berputar pelan, memberi pengalaman yang lebih panjang dari sekadar rasa di lidah. Bagi aku, ini adalah point plus. Karena menikmati kopi bukan hanya soal rasa, tapi juga soal aroma yang bertahan, yang membuat kita bisa menikmati kopi lebih lama, bahkan setelah tegukan berakhir.

Secara keseluruhan, rasa kopi ini tergolong light. Tidak sekuat robusta yang pekat dan “menampar.” Light di sini bukan berarti lemah, tapi lebih seperti minuman buah yang menggunakan perasa alami, bukan jus yang kental. Dan itu wajar, karena metode V60 memang dirancang untuk mengekstrak rasa secara seimbang. Air yang mengalir satu arah membawa seluruh karakter kopi dengan lembut, tanpa meninggalkan endapan yang bisa memperkuat rasa tertentu secara berlebihan.

☕️ Gelas Kedua: Tubruk yang Jujur dan Tegas

Gelas kedua aku seduh dengan cara yang paling klasik, tubruk. Metode yang sederhana, tanpa alat khusus, hanya kopi dan air panas. Aku menuangkan bubuk kopi ke dalam gelas, menambahkan air panas bersuhu sekitar 95 derajat Celsius, lalu membiarkannya tanpa diaduk. Diam beberapa menit, membiarkan kopi mengekstraksi zatnya tersendiri.

Seperti yang sudah kuduga, dan seperti yang sering dikatakan oleh para penikmat kopi, karakter dan aroma tipis yang muncul pada V60 menghilang dalam proses tubruk. Aroma yang sebelumnya halus dan spicy, kini nyaris tak terasa. Yang muncul justru rasa pahit yang dominan, langsung menyapa lidah pada seruputan pertama. Rasa manis alami yang sempat membuatku takjub di V60 kini tertutup, dan rasa asamnya pun sangat tipis, hampir tidak ada.

Namun, proses ini punya dinamika tersendiri. Saat suhu kopi mulai turun ke tingkat sedang, rasa asam perlahan muncul. Menariknya, asam ini tidak datang dari cairan utama, melainkan dari buih dan minyak kopi yang mengambang di pinggiran gelas. Jika dibiarkan lebih lama, buih ini akan tercampur rata, dan aroma asamnya mulai naik, perlahan menekan rasa pahit yang sebelumnya dominan.

Sayangnya, rasa manisnya tetap sangat tipis, nyaris tak terdeteksi. Tapi ada satu hal yang menarik, aroma kopi pada suhu sedang lebih bertahan lama di mulut. Ini bisa jadi nilai tambah bagi mereka yang menyukai aftertaste yang kuat, tapi juga bisa jadi gangguan bagi yang tidak nyaman dengan aroma kopi yang “menempel” terlalu lama. Sensasi ini sedikit lebih “strong” dibanding V60, dan lebih “berat” secara keseluruhan.

Saat suhu kopi turun lebih jauh, terjadi perubahan lagi. Rasa asam dan pahit mulai seimbang, pahitnya melembut, dan rasa manis justru mulai muncul. Ini adalah kejutan terbesar dalam proses tubruk dalam jenis kopi ini, yang mengingatkanku pada kopi instan seperti Nescafe. Bedanya, Nescafe cenderung lebih strong dan asamnya lebih tipis, sedangkan kopi Semendo Arabica Honey ini punya asam yang lebih terasa dan pahit yang lebih jinak. Bahkan, jika dibandingkan dengan Nescafe yang diseduh dengan satu sendok gula, tingkat manisnya hampir sama dengan kopi Semendo ini yang diseduh tanpa gula.

Namun, ada satu hal yang hilang dalam proses tubruk ini: sensasi tipis seperti teh yang sempat hadir dalam seduhan V60. Bukan aroma teh secara literal, tapi semacam lapisan ringan yang memberi kesan elegan dan bersih. Dalam tubruk, sensasi itu absen. Yang tersisa adalah kekuatan rasa yang lebih tegas, lebih padat, dan lebih “berat.”

☕️ Gelas Ketiga: Bonus yang Tak Terduga dari Ampas V60

Sebagai penutup eksperimen kecil ini, aku melakukan sesuatu yang spontan. Ampas kopi dari proses V60 yang sebelumnya kusisihkan, aku tuang ke gelas lain. Tanpa ekspektasi tinggi, aku menyeduhnya kembali dengan air panas. Kali ini, aku tidak memperhitungkan suhu air, begitu air mendidih, langsung saja kutuangkan. Namanya juga sisa, pikirku. Rasanya mungkin sudah hilang, aromanya pun mungkin tinggal bayangan.

Tapi ternyata, kopi ini masih bercerita.

Setelah didiamkan beberapa menit, aku menyeruputnya perlahan. Dan jujur, aku terkejut. Rasa kopi tetap terasa, meski lebih encer dibandingkan seduhan tubruk sebelumnya, bahkan lebih encer dari V60. Rasa pahitnya berkurang, aroma kopi yang sebelumnya kuat pun mulai melemah. Tapi ada satu hal yang tidak berubah sama sekali, rasa asamnya. Ia tetap hadir, tetap segar, dan justru terasa lebih dominan karena elemen rasa lainnya mulai memudar.

Karena perbandingan rasa sudah tidak seimbang, kopi ini terasa seperti kopi ringan yang dicampur air asam jawa, begitu kata ibuku, yang juga ikut mencicipi. Bukan asam yang tajam atau menyengat, tapi asam yang lembut dan segar, seperti embun pagi di kebun buah. Dan menariknya, meski ibu menderita asam lambung, kopi ini tetap aman untuknya. Ia hanya menambahkan sedikit gula, karena memang tidak terlalu menyukai rasa asam. Tapi tetap, ia mengakui bahwa kopi ini punya karakter yang menarik.

Bagiku pribadi, ini adalah kejutan. Aku yang biasanya tidak kuat minum kopi tanpa gula, ternyata bisa menikmati kopi ini tanpa sedikit pun rasa pahit yang mengganggu. Bukan karena pahitnya hilang, tapi karena rasa pahitnya tertutupi oleh lapisan rasa lain seperti asam, manis, dan aroma yang berpadu dengan harmonis. Jika dirasakan lebih serius, pahitnya tetap ada, tetap kuat. Tapi ketika semua rasa terblend menjadi satu, kopi ini menjadi sesuatu yang khas, spesial, dan jujur saja… sulit dilupakan.

Pertanyaanya, apakah kopi ini yang saya rasa seperti di Medan? Ternyata tidak. Karakternya beda, nampaknya petualangan saya terhadap Kopi tidak akan terhenti disini saja.

Perspektif Baru dari Lidah yang Netral

Malam itu, aku kembali menyeduh kopi Semendo Arabica Honey. Kali ini, bukan untuk diriku sendiri, bukan untuk ibuku, tapi untuk seseorang yang bukan penikmat kopi. Tujuanku sederhana yakni mendapatkan feedback yang lebih netral. Karena tidak adil rasanya jika penilaian hanya datang dari mereka yang sudah terbiasa menikmati kopi. Aku ingin tahu bagaimana kopi ini diterima oleh lidah yang tidak bias, lidah yang tidak punya ekspektasi rasa tertentu.

Respondenku kali ini adalah seseorang yang bisa minum kopi jika dipaksa, tapi kopi bukanlah minuman pilihannya saat ingin bersantai. Ia lebih memilih jus, cola, teh aroma buah dalam botol, coklat hangat, yogurt atau air putih. Tapi malam itu, ia bersedia ikut dalam eksperimen kecilku.

Aku menyeduh kopi dengan dua metode, V60 dan tubruk.

☕ Seduhan V60: Aroma yang Mengganggu

Begitu menyeruput kopi dari V60, ekspresinya langsung berubah. Ia mengernyitkan dahi, menjulurkan lidah, dan berkata, “Uek… Aneh.” Fokusnya langsung tertuju pada aroma kopi yang menurutnya tidak biasa. Ia menyebutnya mirip aroma sambal cengeh yang sedang dimasak, pedas, tajam, dan tidak menyenangkan. Ia tidak menyukai aroma itu, dan reaksinya cukup keras.

Menariknya, reaksi ini bukan hal baru. Dalam sebuah tayangan video yang pernah kutonton, seorang pencinta kopi pun menunjukkan ekspresi serupa saat mencoba kopi Semendo. Artinya, aroma ini memang khas dan umum dirasakan, bahkan oleh mereka yang terbiasa dengan kopi. Bedanya, pencinta kopi bisa menoleransi atau bahkan menghargai aroma ini sebagai bagian dari karakter kopi. Tapi bagi lidah netral, aroma ini bisa jadi penghalang.

☕ Seduhan Tubruk: Aroma yang Lebih Jinak

Saat mencoba versi tubruk, ia mengatakan bahwa rasa dan aroma tetap sama, tapi aromanya tidak setajam versi V60. Mungkin karena proses tubruk merendam kopi lebih lama, sehingga aroma volatile yang biasanya muncul di awal penyeduhan tidak terlalu kuat. Ia masih tidak menyukai aroma tersebut, tapi setidaknya tidak merasa terganggu seperti sebelumnya.

❄️ Saat Kopi Mendingin: Rasa yang Lebih Diterima

Yang menarik adalah perubahan persepsi saat kopi mulai dingin, bahkan mencapai suhu ruangan. Aroma yang sebelumnya dianggap aneh mulai menghilang, baik di versi V60 maupun tubruk. Ia mulai bisa menerima rasa kopinya. “Saya bukan tidak suka kopinya,” katanya, “rasanya bisa saya terima, aromanya saja yang aneh. Tapi kalau dingin, aromanya hampir tidak tercium.”

Akhirnya, ia menambahkan sedikit gula ke versi tubruk. Dan reaksinya berubah total. “Rasanya jadi nikmat,” katanya sambil tersenyum. Aku pun ikut mencicipi kopi yang sudah diberi gula. Dan jujur, rasanya mirip Nescafe. Hanya saja, ada sedikit penyesuaian rasa yang membuatnya lebih kompleks. Mungkin bagi lidah awam, perbedaan antara kopi Semendo dan Nescafe tidak terlalu terasa. Tapi bagi yang terbiasa, ada lapisan rasa yang membuat kopi ini tetap punya identitas sendiri.

Posting Komentar

Harap bijaklah dalam berkomentar. Kami melarang aktifitas spam, iklan, link, provokasi, hoax, sara, pornograpi, berkata kasar, ujaran kebencian serta semua hal yang dilarang oleh norma dan hukum yang berlaku.